Dari 4,3 juta TKI yang terdaftar di Kemenakertras, 80% bekerja sebagai pekerja domestik.
VIVAnews - Maraknya tenaga kerja Indonesia yang bermasalah di luar negeri merupakan akumulasi rumitnya birokrasi dari awal proses pendaftaran hingga keberangakatan. Regulasi yang melindungi tenaga kerja Indonesia belum cukup untuk melindungi pekerja migran.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Penasihat Teknis Proyek Penghapusan Kerja Paksa dan Perdagangan Pekerja Migran Indonesia dari Organisasi Buruh Internasional (ILO) Indonesia, Lotte Kejser. Menurutnya perlindungan bagi penyumbang devisa terbesar kedua Indonesia non migas ini belum maksimal.Ia menjelaskan saat ini terdapat 4,3 juta TKI yang terdaftar di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI dan 80 persennya bekerja sebagai pekerja domestik. "Pekerja migran untuk pekerja domestik memiliki risiko tinggi karena tidak ada perlindungan dan hak asasi manusia yang belum terlindungi," kata Lotte Kejser di Jakarta, Kamis 29 September 2011.
Masalah TKI ini sudah muncul sejak pertama kali menjalani proses perekrutan dimana mereka sering kali terlibat calo sekaligus berprofesi sebagai agen perekrutan yang memungut 33-50 persen dari upah mereka. Pekerja migran diharuskan membayar mahal untuk dokumen penempatan, tes dan pelatihan teknis.
"Problem sudah muncul saat rekrutmen, mereka wajib membayar mahal tetapi tidak diinformasikan hak-hak mereka. Proses perekrutan sangat birokratis dan berliku-liku sehingga kebanyakan mereka menggunakan jalan pintas dengan membayar," kata Lotte.
Masalah selanjutnya muncul ketika mereka dikurung selama berbulan-bulan tidak boleh berpergian kemanapun di pusat pelatihan sembari menunggu untuk ditempatkan. Kebanyakan TKI berpendidikan rendah, sehingga setelah pekerja rumah tangga tiba di negara tujuan tanpa memiliki pengetahuan dan keterampilan.
Ia menjelaskan sebenarnya Indonesia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014, pemerintah Indonesia secara eksplisit mengakui bahwa reformasi kebijakan untuk melindungi dan memberdayakan pekerja migran.
"Di dalam RPJMN pemerintah memang telah memasukan perlindungan komprehensif terhadap pekerja meliputi reformasi prosedur penempatan namun seperti yang kita lihat di RPJMN belum cukup untuk melindungi pekerja migran," ujar Lotte.
Dia meminta agar pemerintah mengkaji ulang Undang-Undang nomor 39 tahun 2004 tentang penempatan dan perlindungan tenaga kerja Indonesia agar lebih melindungi tenaga kerja Indonesia. Selain itu Ia meminta agar organisasi pekerja migran untuk lebih memperkuat posisi agar suara mereka didengar oleh pemerintah, agen perekrutan TKI dan majikan tempat pekerja migran tersebut bekerja.
"Tantangan juga untuk organisasi pekerja migran karena asal pekerja dari daerah yang berbeda-beda. Organisasi pekerja migran belum cukup untuk menyuarakan suara mereka," katanya.
• VIVAnews
0 komentar:
Posting Komentar